Dalam kesempatan kali ini, saya ingin berbagi informasi tentang Kelemahan Peternakan di Indonesia menurut sumber pse.litbang.deptan.go.id dalam makalah penelitian dengan judul “RESTRUKTURISASI PETERNAKAN DI INDONESIA” Penulis: Chalid Talib, Ismeth Inounu, dan Abdullah Bamualim. Ada 3 pokok yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini yaitu Peternakan unggas, Peternakan Ruminansia Besar, dan Peternakan Ruminansia Kecil.
Peternakan Unggas (baca: Ayam Ras)
Kelemahan sistem peternakan unggas adalah (a) besarnya jumlah pakan yang harus diimpor baik sebagai sumber energi maupun untuk sumber protein yaitu jagung, bungkil kedelai dan tepung hewani. Kebutuhan ketiga bahan tersebut dengan populasi yang ada sekarang sekitar 3 juta ton. (b) Dapatkah kebutuhan tersebut yang merupakan pasar bahan baku pakan dipenuhi dari dalam negeri sendiri dengan catatan yang dapat meningkatkan efisiensi produksi produk unggas? (c) Ayam kampung yang merupakan sumber uang kontan bagi masyarakat pedesaan belum diketahui ke arah mana pengembangannya? Apakah untuk entertainment ataukan untuk produksi?
Peternakan Ruminansia Besar
Kelemahan pada ruminansia besar antara lain adalah: (a) Untuk sapi potong, kelemahannya adalah ketergantungan pada supply sapi bakalan dan daging dalam jumlah besar (+ setara 600 ribu ekor per tahun) dan selalu meningkat dari tahun ketahun (PPSKI, 2007), (b) Untuk sapi perah, ketergantungan terhadap susu impor dalam jumlah besar yang juga selalu meningkat dari tahun ketahun, (c) peternakan sapi potong untuk sumber bibit/bakalan sapi impor jumlahnya masih sangat terbatas, sedangkan untuk sapi perah dan sapi lokal belum ada. Dampaknya, pengadaan bakalan sapi potong maupun calon induk sapi perah dari dalam negeri dalam jumlah besar menjadi tidak ekonomis karena harus berasal dari berbagai tempat yang membutuhkan biaya cukup besar. Dalam hal ini, pengadaan sapi impor menjadi lebih ekonomis, (d) akses modal melalui perbankan untuk pengembangan peternakan komersial penggemukan maupun perbibitan skala kecil (10–50 ekor per periode 2–4 bulan) cukup sulit untuk diperoleh, (e) keterbatasan SDM yang dalam hal ini adalah tenaga kerja dalam keluarga sebagai pencari pakan hijauan yang membatasi jumlah pemilikan ternak. Akibatnya peternak sulit sekali untuk meningkatkan jumlah ternak yang dimiliki sehingga sapi-sapi betina usia produktif terpaksa harus menjadi ternak konsumsi. Jalan keluarnya adalah memudahkan akses permodalan bagi peternak untuk pengadaan pakan lengkap yang terjangkau oleh peternak dan penggunaannya dalam proses produksi memberikan keuntungan yang cukup sehingga peternak terpacu untuk meningkatkan skala usaha mereka.
Peternakan Ruminansia Kecil
Melihat trend konsumsi yang ada maka konsumsi daging kambing dan domba dalam negeri hanya berlangsung dengan lonjakan sporadis hanya dibutuhkan dalam waktu-waktu tertentu saja, sedangkan konsumsi harian akan terus terdesak oleh daging sapi dan daging ayam. Dengan demikian, kalaupun mau ditingkatkan maka yang harus dikembangkan adalah peternakan skala komersial untuk membidik pasar impor.
Harapannya semoga dengan mengetahui informasi ini kita dapat lebih giat untuk membenahi kelemahan-kelemahan tersebut. Go Peternakan di Indonesia.